welcome to LagiLagi Archive

Welcome to lagilagi Archive
ini adalah blog emmi yang penuh akan berbagai macam arsip :)
yaa bareng-bareng mengenal tentang arsip lebih dekat,,
so, ayookk kita tak ada salahnya belajar bareng tentang arsip :)
saling koreksi juga yahh :))
makasih yang udahh pada buka blog emii n saya terima kritik dan saran dari kalian semua :)
matursuwun :))

Senin, 28 Maret 2011

Kearsipan Sastra Digital

Masyarakat Indonesia telah mengalami suatu perkembangan kebudayaan yang teramat cepat. Saat ini, kita sudah sampai pada budaya multi-media (digital) yang didukung peralatan canggih bernama teknologi. Mungkin, ada banyak di antara kita yang berbisik ragu, “masyarakat Indonesia melompati satu fase kebudayaan”. Lompatan kebudayaan yang dimaksud dilihat dari fase kebudayaan yang diawali dengan kebudayaan lisan, tulis dan digital. Budaya lisan telah terlewati dengan baik, dengan kemunculan berbagai karya sastra lisan yang berkembang di desa-desa berbentuk Mocopat dan Tembang (Kidung).Budaya menulis ini, yang menurut kalangan akademisi, telah terjadi lompatan dari lisan ke digital. Pendapat yang mengatakan kalau sebenarnya masyarakat kita belum kenyang dengan budaya tulis, dan langsung menghambur ke budaya digital. Sebelum terlalu banyak kita membicarkan mengenai adanya lompatan kebudayaan, ada baiknya kalau kita sama-sama menenggok ke masa lalu. Masa di mana saat Babad Tanah Jawa dituliskan, lalu menilik Serat Centhini yang disusun oleh Ranggasutrasna Dkk., Serat Kalatidha-nya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan serentetan karya sastra lain yang masih banyak.
Kalau sudah demikian, apa kita masih bisa mengganggap kalau masyarakat kita mengalami loncatan budaya?
Bertumpuk karya sastra lama dalam berbahagai bahasa (Arab Melayu, Sansekerta, Jawa, Jawa Kawi) telah tertuliskan. Di ketika itu memang tidak ada media penerbitan seperti zaman kita sekarang, hanya beberapa salinan yang dimiliki orang-orang tertentu. Akantetapi, sungguh tidak bijak kalau kita langsung mengatakan, telah terjadi lompatan budaya. Sebab, secara tidak langsung kita sudah menghapus jasa para pendahulu yang telah menciptakan karya sastra yang terkenal sampai ke manca-nusantara. Menyimak keberadaan karya sastra lama memberikan saya keyakinan, kalau budaya tulis bangsa kita sudah matang dan itu terjadi jauh di masa lampau.
Tidak harus kaget ketika setelah teknologi melimpah dan masyarakat langsung menjadikan budaya digital sebagai alternatif dalam mengembangkan diri. Ini budaya digital yang keberlangsungannya didukung karena faktor perkembangan manusia Indonesia itu sendiri.
Dalam budaya digital ini, arus pemikiran ikut berkembang seiring dengan pemakai teknologi internet yang terus bertambah. Di dalam tubuh budaya digital mengandungi banyak nilai positif yang memuat khasanah ilmu pengetahuan. Jikalau kita berhadapan dengan suatu permasalahan, orang yang familiar dengan internet akan langsung mengatakan: “Tanya saja pada Mbah Google.” Google sebagai salah satu mesin perambah telah dianggap layaknya seorang dukun yang mengetahui berbagai hal. Google hadir sebagai dukunnya masyarakat Indonesia modern yang dalam budaya digital.
Saya rasa, Mbah Google memang dukun dan profesor dengan multi pengetahuan yang luar biasa.
Kebudayaan digital ternyata juga menjawab tantangan kehidupan mengenai tantangan kesusastraan Indonesia. Banyak user yang memanfaatkan hasil kebudayaan ini untuk berkomunikasi dan sosialisasi pemikiran kepada khalayak luas. Lebih luas lagi, karena hasil budayaan digital tidak terbatasi selain dengan bahasa. Jadi, memang benar kalimat bijak ini: “Die Grenzen meiner sprache bedeuten die Grenzen meiner weit’ (Batas bahasaku adalah batas duniaku”.
Akantetapi kita tidak perlu merisaukan keterbatasan bahasa kita, sebab Mbah Google juga siap berperan menjadi penerjemah. Seperti dukun yang menjembatani manusia dengan dunia ghaib. Sungguh media ini memberikan kita solusiyang murah dan juga ada yang gratis. Seperti saya dalam memanfaatkan gratisan untuk http://phenomenologyinstitute.wordpress.com, mengatasi berbagai kendala penerbitan yang tersangkut kondisi finansial.
Untuk masalah kesusastraan Indonesia kita akan menemukan situs http://sastra-indonesia.com yang kontennya terbarui setiap hari dengan kebaruan tulisan dan juga pemikiran. PuJa atau Pustaka Pujangga yang dimotori dan dikelola oleh seorang penyair dari Lamongan menghadirkan media sastra-indonesia.com sebagai media sastra independen yang merdeka untuk bereksplorasi kreativitas. Kehadiran media ini selayaknya angin segar, menjadi sumbangan besar bagi perkembangan sastra Indonesia. Saya pikir, para kritikus sastra dan sejarawan sastra perlu untuk mengucapkan sekedar “terima kasih” kepada Pustaka Pujangga sebagai pengelola sastra-indonesia.com mengingat gerakan media ini telah melakukan kegiatan pengarsipan pemikiran sastra.
Dengan tanpa lelah, Pustaka Pujangga menelusuri setiap tulisan yang berhubungan dengan sastra dan budaya, untuk kemudian dihimpun di dalam satu wadah. Tulisan mengenai kesusastraan dari berbagai media, entah itu media massa cetak maupun online yang tercecer di berbagai tempat oleh Pustaka Pujangga dikumpulkan menjadi satu.
Sastra-indonesia.com apabila diibaratkan sebuah gudang atau toko kesusastraan, dia adalah yang terlengkap. Memuat berbagai karya sastra yang berceceran demi terkumpul dalam satu lemari arsip untuk memudahkan para pembaca sastra. Kehadiran sastra-indonesia.com sebagai kearsipan sastra digital nasional Indonesia perlu mendapatkan penghormatan tersendiri. Bagaimana tidak, jika Pustaka Pujangga yang merogoh keuangan pribadi demi terciptanya media umum mengenai sastra yang jauh dari pemikiran mengenai untung dan rugi. Sastra-indonesia.comnya Pustaka Pujangga memiliki tujuan yang lebih besar ketimbang untung dan rugi dalam hitungan rupiah, yaitu menjadi lemari arsip bagi kesusastraan Indonesia yang saat ini terseok-seok dipinggirkan pasar.
Pustaka Pujangga (Nurel Javissyarqi) layak untuk disandingkan dengan Paus Kesusastraan Indonesia H.B. Jassin yang sama-sama memiliki keinginan luhur untuk kesusastraan Indonesia. Seumpamanya, besok pagi Pustaka Pujangga meninggal dunia, apakah ada seorang Pustaka Pujangga (Nurel Javissyarqi) yang lain, yang mau mengorbankan waktu, tenaga, uang, dan pikiran untuk bekerja sosial melakukan pengarsipan tanpa memperhitungkan untung dan rugi? Saya teramat sangsi!
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Jumat Pon, 11 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar