Kalau sudah demikian, apa kita masih bisa mengganggap kalau masyarakat kita mengalami loncatan budaya?
Bertumpuk karya sastra lama dalam berbahagai bahasa (Arab Melayu, Sansekerta, Jawa, Jawa Kawi) telah tertuliskan. Di ketika itu memang tidak ada media penerbitan seperti zaman kita sekarang, hanya beberapa salinan yang dimiliki orang-orang tertentu. Akantetapi, sungguh tidak bijak kalau kita langsung mengatakan, telah terjadi lompatan budaya. Sebab, secara tidak langsung kita sudah menghapus jasa para pendahulu yang telah menciptakan karya sastra yang terkenal sampai ke manca-nusantara. Menyimak keberadaan karya sastra lama memberikan saya keyakinan, kalau budaya tulis bangsa kita sudah matang dan itu terjadi jauh di masa lampau.
Tidak harus kaget ketika setelah teknologi melimpah dan masyarakat langsung menjadikan budaya digital sebagai alternatif dalam mengembangkan diri. Ini budaya digital yang keberlangsungannya didukung karena faktor perkembangan manusia Indonesia itu sendiri.
Dalam budaya digital ini, arus pemikiran ikut berkembang seiring dengan pemakai teknologi internet yang terus bertambah. Di dalam tubuh budaya digital mengandungi banyak nilai positif yang memuat khasanah ilmu pengetahuan. Jikalau kita berhadapan dengan suatu permasalahan, orang yang familiar dengan internet akan langsung mengatakan: “Tanya saja pada Mbah Google.” Google sebagai salah satu mesin perambah telah dianggap layaknya seorang dukun yang mengetahui berbagai hal. Google hadir sebagai dukunnya masyarakat Indonesia modern yang dalam budaya digital.
Saya rasa, Mbah Google memang dukun dan profesor dengan multi pengetahuan yang luar biasa.
Kebudayaan digital ternyata juga menjawab tantangan kehidupan mengenai tantangan kesusastraan Indonesia. Banyak user yang memanfaatkan hasil kebudayaan ini untuk berkomunikasi dan sosialisasi pemikiran kepada khalayak luas. Lebih luas lagi, karena hasil budayaan digital tidak terbatasi selain dengan bahasa. Jadi, memang benar kalimat bijak ini: “Die Grenzen meiner sprache bedeuten die Grenzen meiner weit’ (Batas bahasaku adalah batas duniaku”.
Akantetapi kita tidak perlu merisaukan keterbatasan bahasa kita, sebab Mbah Google juga siap berperan menjadi penerjemah. Seperti dukun yang menjembatani manusia dengan dunia ghaib. Sungguh media ini memberikan kita solusiyang murah dan juga ada yang gratis. Seperti saya dalam memanfaatkan gratisan untuk http://phenomenologyinstitute.wordpress.com, mengatasi berbagai kendala penerbitan yang tersangkut kondisi finansial.
Untuk masalah kesusastraan Indonesia kita akan menemukan situs http://sastra-indonesia.com yang kontennya terbarui setiap hari dengan kebaruan tulisan dan juga pemikiran. PuJa atau Pustaka Pujangga yang dimotori dan dikelola oleh seorang penyair dari Lamongan menghadirkan media sastra-indonesia.com sebagai media sastra independen yang merdeka untuk bereksplorasi kreativitas. Kehadiran media ini selayaknya angin segar, menjadi sumbangan besar bagi perkembangan sastra Indonesia. Saya pikir, para kritikus sastra dan sejarawan sastra perlu untuk mengucapkan sekedar “terima kasih” kepada Pustaka Pujangga sebagai pengelola sastra-indonesia.com mengingat gerakan media ini telah melakukan kegiatan pengarsipan pemikiran sastra.
Dengan tanpa lelah, Pustaka Pujangga menelusuri setiap tulisan yang berhubungan dengan sastra dan budaya, untuk kemudian dihimpun di dalam satu wadah. Tulisan mengenai kesusastraan dari berbagai media, entah itu media massa cetak maupun online yang tercecer di berbagai tempat oleh Pustaka Pujangga dikumpulkan menjadi satu.
Sastra-indonesia.com apabila diibaratkan sebuah gudang atau toko kesusastraan, dia adalah yang terlengkap. Memuat berbagai karya sastra yang berceceran demi terkumpul dalam satu lemari arsip untuk memudahkan para pembaca sastra. Kehadiran sastra-indonesia.com sebagai kearsipan sastra digital nasional Indonesia perlu mendapatkan penghormatan tersendiri. Bagaimana tidak, jika Pustaka Pujangga yang merogoh keuangan pribadi demi terciptanya media umum mengenai sastra yang jauh dari pemikiran mengenai untung dan rugi. Sastra-indonesia.comnya Pustaka Pujangga memiliki tujuan yang lebih besar ketimbang untung dan rugi dalam hitungan rupiah, yaitu menjadi lemari arsip bagi kesusastraan Indonesia yang saat ini terseok-seok dipinggirkan pasar.
Pustaka Pujangga (Nurel Javissyarqi) layak untuk disandingkan dengan Paus Kesusastraan Indonesia H.B. Jassin yang sama-sama memiliki keinginan luhur untuk kesusastraan Indonesia. Seumpamanya, besok pagi Pustaka Pujangga meninggal dunia, apakah ada seorang Pustaka Pujangga (Nurel Javissyarqi) yang lain, yang mau mengorbankan waktu, tenaga, uang, dan pikiran untuk bekerja sosial melakukan pengarsipan tanpa memperhitungkan untung dan rugi? Saya teramat sangsi!
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Jumat Pon, 11 Maret 2011
This entry was posted in Esei, Phenomenology Institute - Indonesia and tagged Esei, Esei Sastra, H.B. Jassin, M.D. Atmaja, Nurel Javissyarqi, Pustaka Pujangga, Sastra Indonesia. Bookmark the permalink.
http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/03/11/kearsipan-sastra-digital/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar